BAUBAU, WARAWARANEWS.com – Polemik yang terjadi pada Raja Moronene di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, Sultan Buton ke-41 Sjamsul Qamar akhirnya menjawab persoalan tersebut.
Bagaimana tidak, berbagai media online memuat pemberitaan Alfian Pimpie sebagai Raja Moronene yang sah sehingga Sultan Buton masih mengakuinya.
Menangani permasalahan tersebut Sultan Buton Sjamsul Qamar mngambil sikap netral dan tidak akan berpihak pada salah satu tokoh ditengah konflik yang sedang berjalan.
“Setelah saya mengetahui kisruan yang terjadi di masayarakat Moronene, saya Sultan Buton menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Lembaga Adat,” tutur Sultan Buton saat ditemui di kediamannya, Sabtu (28/6/2025).
Sultan Buton ke-41 mengatakan, dinamika yang terjadi di wilayah Rumbia, termasuk sejumlah pelanggaran adat yang dilakukan oleh Raja Moronene ke-VII, Mokole Alfian Pimpie yang berakhir pada proses pemakzulan oleh Lembaga Adat Moronene dan keluarga besar Mokole.
“Setelah mengetahui pemilihan dimana keputusan adat telah memilih Mokole Apua Aswar Latif sebagai Raja Moronene ke-VIII,” ungkapnya.
Sjamsul Qamar menuturkan, konflik yang terjadi bukanlah babak baru dalam sejarah kerjaan namun, bagaimana menyelesaikan polemik agar tidak terjadi perpecahan di tubuh Moronene. Hal itu, serahkanlah sepenuhnya ke Lembaga Adat Moronene (LAM) .
Ia juga menegaskan, menyampaikan dan pemakzulan Raja Moronene merupakan hak LAM dan keluarga Mokole Rumbia. Sebagai Sultan Buton, kata dia, tidak mempunyai kewenangan mencampuri proses pemakzulan dan itu merupakan kewenangan penuh Lembaga Adat.
“Saya menghormati keputusan adat Moronene. Pengangkatan Raja merupakan kewenangan tertinggi lembaga adat. Maka biarlah berjalan sebagai mestinya,” paparnya.
Salah Satu orang terkemuka di Negeri Sara Pataanguna menghimbau, pentingnya menjaga kesatuan, martabat, dan kelestarian adat Moronene. Hal itu disampaikan agar tidak terjadi pecah konsi.
“Lembaga adat dan keluarga besar Mokole Rumbia sudah saatnya berembuk dan saling memahami, bagaimana mencari solusi terbaik demi menghindari dualisme sehingga tidak terjadi perpecahan,”terangnya.
Sultan berharap, agar masalah ini dikomunikasikan secara terbuka kepada kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Konawe, Muna, dan Mekongga, guna menjaga keharmonisan dan keutuhan tatanan adat di Bumi Anoa.
“Masalah ini sebaiknya juga diketahui oleh para raja tetangga agar tidak terjadi mispersepsi. Kita ini keluarga besar budaya Sultra, dan harmoni adalah tanggung jawab bersama,” tutupnya.